Selasa, 14 April 2009

STIMULASI IQ-EQ-SQ SEJAK PRASEKOLAH

Konsep tradisional tentang inteligensi seseorang mengemukakan bahwa tingkat kecerdasan merupakan faktor bawaan yang sudah ditentukan sejak lahir. Karena itu siapa pun tidak dapat mengubah apalagi meningkatkan kadar intelegensi seseorang.
Namun, seiring perkembangan pendidikan, konsep tersebut mulai tergeser oleh hasil penelitian yang secara intens mempelajari cara meningkatkan kecerdasan seseorang. Hasilnya, tingkat kecerdasan seseorang dapat ditingkatkan. Caranya antara lain dengan menyekolahkan dan meningkatkan asupan gizi untuk perkembangan saraf otak.
Upaya meningkatkan intelektual peserta didik di sekolah tidak mungkin dilakukan secara stimultan sejak dini, sejak usia prasekolah, dengan menyediakan atau menciptakan lingkungan yang memberi stimulasi intelektual. Sebab, inteligensia anak tidak akan berkembang hanya dengan memperhatikan sudut gizi tanpa memperhatikan sudut lingkungan.
Dari sudut pendidikan, inteligensi didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan potensi intelek untuk belajar. Sedangkan hasil belajar merupakan pengetahuan yang dimulai dari pengalaman indra, persepsi, imajinasi, konsentrasi, abstraksi, penilaian dan penalaran. Proses tersebut menyangkut daya ingat atas bahan yang diperoleh sebelumnya, kemudian dikeluarkan untuk proses lebih lanjut.
Secara konkret dapat dikatakan, anak dengan kadar intelek dan inteligensi tinggi adalah anak yang pengamatannya tajam, daya persepsi dan imajinasinya kuat, daya abstraksi dan apresiasinya tinggi, daya penalarannya lurus, serta daya konsentrasi dan daya ingatnya kuat.
Pertanyaannya, seberapa jauh urgensi stimulasi untuk merangsang perkembangan IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) ?
Hasil penelitian psikolog Skeels dan Dye (1938) dan White (1971) menyimpulkan hal – hal berikut :
1.Tanpa stimulasi dari lingkungan, anak tidak akan dapat mengaktualisasikan potensi inteleknya secara maksimal. Di sini, anak belum mencapai titik IQ, EQ dan SQ optimal yang seharusnya bisa dicapai.
2.Merangsang perkembangan inteligensi secara maksimal dalam 2 kategori, yaitu Verbal dan Non-Verbal. Yang termasuk Non-Verbal adalah aktivitas untuk merangsang pengakraban indra seperti mainan dan aktivitas fisik lain sejenis. Sedangkan yang dimaksud verbal adalah berbicara, menghafal, mengajar bahasa dan sejenisnya. Bagi peserta didik di kelas rendah (TK,Playgroup dan SD), 2 jenis rangsangan itu merupakan Learn Climate (Iklim Belajar) seperti halnya yang terjadi pada peserta didik di kelas menengah (SMP dan SMA).
Yang paling perlu di ingat dalam rangka stimulasi kecerdasan, emosi dan spiritual adalah peran orang tua dan guru di sekolah sama – sama penting. Fungsi sekolah dan lingkungan keluarga, dan tempat bermain sama vitalnya. Semua harus saling mendukung, tidak boleh ada satu aspek pun yang lemah.
Untuk mendapatkan tingkat intelektual yang optimal di semua jenjang pendidikan, stimulasi harus dilakukan sejak dini, bahkan sejak prasekolah. Pada masa bayi, orang tua bertanggung jawab merangsang indra, aktivitas motorik dan bahasa. Idealnya, anak usia 12 bulan harus bisa menjawab pertanyaan kita. Meski, saat ditanya anak hanya menunjuk ke lantai seraya merangkak menunjukkan hal yang dimaksud.
Karena itu, perlu sekali merangsang intelegensi peserta didik sedini mungkin sejak usia pembentukan saat masih mudah merangsang perkembangan kecerdasan, emosi dan fisik. Grade perkembangan yang diperoleh pada masa balita itulah yang nanti menjadi dasar pola perkembangan inteligensi selanjutnya sehingga tidak aneh bila tingkat kecerdasan, stabilitas emosi dan kepekaan sosial peserta didik di tingkat SMP atau SMA sangat variatif meski mereka belajar di satuan pendidikan dengan fasilitas yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar